*Mencari Cinta
Yang Sejati*
1. Pendahuluan
Cinta adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita.
Apalagi di kalangan remaja, karena sudah menjadi anggapan umum bahwa cinta
identik dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang
mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan saking indahnya
tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan dll. Bahkan
Jalaludin Rumi menggambarkan saking indahnya cinta, setan pun berubah menjadi
bidadari. Yang jelas karena cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun
sebaliknya karena cinta banyak pula orang yang dibuat tersiksa dan merana.
Cinta dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang
menjadikan seseorang menjadi sangat tercela.
Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw
yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi
perjuangan sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang
mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia
lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan
baygon hanya karena cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.
Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah
sepenggal kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna
cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu
Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang
cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”
Adapun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan
atau keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai
sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa
yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut
namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya
dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan
kata-kata dan perbuatan.
2. Pandangan Islam
terhadap Cinta
Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam
adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah
telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula
melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan
agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang
mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan
At-Tirmidzy).
Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai,
bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu
cinta, karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga
pernikahan) dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih
sayang,…”(Ar-Ruum: 21)
Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan
Allah tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah
menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau
pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana, na’udzubillahi
min zalik. Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya
tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat. Dalam Islam ada
peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus diutamakan dan siapa atau apa yang
harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)
Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam
peringkat cinta (maratib al-mahabah), yaitu:
1. Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum,
yang merupakan hak Allah semata.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk
Rabbul ‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi
di dalam qalbu” atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku
hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah
yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak
dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama
si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak
Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada
kalian, maka itu semua dari Allah (S. 2: 165).
2. Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan
hak Rasulullah saw. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu
membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dll, namun bukan untuk
menghambakan diri kepadanya.
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi
saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran:
31)
3. Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin
dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, antara orang tua dan anak dan cinta
yang membuahkan mawaddah wa rahmah.
4. Peringkat ke-4; shababah
yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5. Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan
kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk
menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.
6. Peringkat ke-6
adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada
selain manusia -harta benda-, namun keinginan ini sebatas intifa’
(pendayagunaan/pemanfaatan).
3. Hubungan Cinta dan Keimanan
3. Hubungan Cinta dan Keimanan
Dalam Islam cinta dan keimanan adalah dua hal yang tak dapat
dipisahkan. Cinta yang dilandasi iman dan takwa akan membawa seseorang kepada
kemuliaan sebaliknya cinta yang tidak dilandasi iman akan menjatuhkan seseorang
ke jurang kehinaan. Cinta dan keimanan laksana dua sayap burung. Al Ustadz Imam
Hasan Al Banna mengatakan bahwa “Dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan
setinggi-tingginya ke langit kemuliaan.” Bagaimana tidak, jikalau iman tanpa cinta akan
pincang, dan cinta tanpa iman akan jatuh ke jurang kehinaan. Selain itu iman
tidak akan terasa lezat tanpa cinta dan sebaliknya cinta pun tak lezat tanpa
iman. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, dari Nabi
saw:
“Barang siapa ingin
memperoleh kelezatan iman, hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah
swt.” (riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah).
Tidak heran ketika ‘Uqbah bin Al Harits telah bercerai dengan istri
yang sangat dicintainya Ummu Yahya, atas persetujuan Rasulullah saw hanya
karena pengakuan seorang wanita tua bahwa ia telah menyusukan pasangan suami
istri itu di saat mereka masih bayi. Allah mengharamkan pernikahan saudara
sesusuan. Demikian pula kecintaan Abdullah bin Abu Bakar kepada istrinya, yang
terkenal kecantikannya, keluhuran budinya dan keagungan akhlaknya. Ketika
ayahnya mengamati bahwa kecintaannya tersebut telah melalaikan Abdullah dalam
berjihad di jalan Allah dan memerintahkan untuk menceraikan istrinya tsb.
Pemuda Abdullah memandang perintah tsb dengan kaca mata iman, sehingga dia rela
menceraikan belahan jiwanya tsb demi mempererat kembali cintanya kepada Allah.
Subhanallah, pasangan tersebut telah bersatu karena Allah, saling
mencinta karena Allah, bahkan telah bercinta karena Allah, namun mereka juga rela berpisah karena Allah. Cinta kepada Allah
di atas segalanya. Bagaimana halnya dengan pasangan yang terlanjur jatuh cinta
-berpacaran- atau sudah bercinta sebelum menikah? Hanya ada dua jalan; bersegeralah menikah atau
berpisah karena Allah, niscaya akan terasa lezat dan manisnya iman. Dan janganlah
mencintai ‘si dia’ lebih dari pada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dari Anas ra, dari nabi saw, beliau bersabda:
“Ada tiga hal dimana
orang yang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan
rasul-Nya melebihi segala-galanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan
enggan untuk menjadi kafir setelah diselamatkan Allah daripadanya sebagaimana
enggannya kalau dilempar ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda:
“Demi zat yang jiwaku
ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman,
dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai….” (HR Muslim)
4. Cinta Kepada
Allah, Itulah yang Hakiki
Cinta bagaikan lautan, sungguh luas dan indah. Ketika
kita tersentuh tepinya yang sejuk, ia mengundang untuk melangkah lebih jauh ke
tangah, yang penuh tantangan, hempasan dan gelombang dan siapa saja ingin
mengarunginya. Namun carilah cinta yang sejati, di lautan cinta berbiduk ‘taqwa’
berlayarkan ‘iman’ yang dapat melawan gelombang syaitan dan hempasan nafsu,
insya Allah kita akan sampai kepada tujuan yaitu: cinta kepada Allah, itulah
yang hakiki, yang kekal selamanya. Adapun cinta kepada makhluk-Nya,
pilihlah cinta yang hanya berlandaskan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukan karena bujuk rayu setan, bukan pula karena desakan nafsu yang menggoda.
Cintailah Allah, berusahalah untuk menggapai cinta-Nya. Menurut
Ibnu Qayyim, ada 10 hal yang menyebabkan orang mencintai Allah swt:
Î
Membaca Al-Qur’an dan
memahaminya dengan baik.
Î
Mendekatkan diri kepada Allah
dengan shalat sunat sesudah shalat wajib.
Î
Selalu menyebut dan berzikir dalam segala
kondisi dengan hati, lisan dan perbuatan.
Î
Mengutamakan kehendak Allah
di saat berbenturan dengan kehendak hawa nafsu.
Î
Menanamkan dalam hati asma’
dan sifat-sifatnya dan memahami makna.
Î
Memperhatikan karunia dan
kebaikan Allah kepada kita.
Î
Menundukkan hati dan diri
keharibaan Allah.
Î
Menyendiri bermunajat dan
membaca kitab sucinya di waktu malam saat orang lelap tidur.
Î
Bergaul dan berkumpul bersama
orang-orang soleh, mengambil hikmah dan ilmu dari mereka
Î
Menjauhkan sebab-sebab yang
dapat menjauhkan kita daripada Allah.
5. Penutup
Saling mencintailah karena Allah agar bisa mendapatkan kecintaan
Allah. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:
“Cinta-Ku harus
Ku-berikan kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Ku,
Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling berkorban karena-Ku, dan Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan karena-Ku.”
Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling berkorban karena-Ku, dan Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan karena-Ku.”
Hiduplah di bawah naungan cinta dan saling mencintailah karena
keagungan-Nya, niscaya akan mendapatkan naungan Allah, yang pada hari itu tidak
ada naungan selain naungan-Nya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Pada hari kiamat
Allah berfirman: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena
keagungan-Ku? Pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku ini, Aku menaungi
mereka dengan naungan-Ku.” (HR. Muslim).
Bahkan Allah memuliakan mereka yang saling mencintai dan bersahabat
karena Allah, yang membuat para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka
mereka. Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
bersabda:
“Di sekeliling ‘Arsy,
terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh suatu kaum yang
berpakaian dan berwajah cahaya pula. Mereka bukanlah para nabi atau syuhada,
tetapi para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahulah kami tentang mereka!” Beliau bersabda,
“Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan saling
mengunjungi karena Allah.”
“Ya Allah,
kurniakanlah kepada kami Cinta terhadap-Mu dan Cinta kepada mereka yang
mencintai-Mu, dan apa saja yang mendekatkan kami kepada Cinta-Mu, dan
jadikanlah Cinta-Mu itu lebih berharga bagi kami daripada air yang sejuk bagi
orang yang dahaga.”
Akhirul qalam, tanyailah diri kita masing-masing:
Î
Sudahkah aku menemukan cinta
yang hakiki, cinta yang sejati dalam hidup ini?
Î
Sejauh mana aku mengenal-Nya,
asma’ (nama)-Nya, sifat-sifat-Nya, kehendak-Nya, larangan-Nya?
Î
Seringkah aku mengingat-Nya,
menyebut nama-Nya melalui zikir-zikir yang panjang?
Î
Seringkah aku mendekatkan
diri kepada-Nya dengan sholat serta ibadah-ibadah lainnya?
Î
Seringkah aku merintih,
mengadu dan mengharap kepada-Nya melalui untaian doa yang keluar dari lubuk
hati.
Î
Sudahkah aku mengikuti
kehendak-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya?
Î
Apakah aku mencintai
seseorang karena-Nya atau karena doringan nafsuku sendiri?
Î
Sejauh mana aku berusaha
untuk mengekang hawa nafsuku sendiri?
Wallahu alam
bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar